Ketika itu aku berumur 11 tahun. Hidup di desa yang tenteram. Sebuah rumah di ujung desa. Disamping kanan rumahku, swah membentang hijau begitu juga di depan rumahku, jalan kerikil dan sawah membentang. Rumah berdinding tembok dan bagian belakang masih berdinding bambuyang cahaya diluar mengintip di sela-sela lubang kecil diantara anyaman bamboo. Rumahku berhalaman luas dan banyak pepohonan tumbuh. Sesungguhnya aku ingin sebuah kolam ikan di rumahku, tetapi hingga sekarang ayah belum membuatkannya.
Ayahku seringkali meninggalkan kami di rumah sendirian. Ayahku bekerja di kota sehingga dini hari harus berangkat dan pulang senja hari. Ayahku adalah seorang kuli. Dia mengangkut karung-karung beras dari truk.
Pada suatu hari, saat malam hari, aku baru setengah tidur. Kudengar ayah pulang dan ibu berbicara lirih sekali. Tiba-tiba ayah berteriak memaki-maki Ibu, mengeluarkan kata-kat yang kotor yang semestinya tidak boleh diucapkan. Ayah selalu menasehatiku untuk tidak berkata-kata kotor dihadapan orang tapi mengapa ayah sendiri yang berkata jorok di hadapan Ibu bahkan amat keras. Bukankah seorang Ibu harus patut dihormati. Demikian nasehat ayah dulu.
Aku melihat dari pintu kamarku yang kubuka sedikit agar ayah dan Ibu tidak menyadariku. Ayah menampar Ibu sampai Ibu jatuh tersungkur dan Ayah Cuma berdiri saja. Yang bergerak hanya bibirnya yang sedang mengumpat pada Ibu. Ibu menangisIa bersujud di kaki ayah, namun ayah malah menendangnya. Ayah pun pergi sedangkan Ibu mengais di ambang pintu. Aku bergegas kembali berbaring. Saat Ibu masuk ke kamarku, air matanya ia usap dengan bajunya yang kumal. Ia duduk disampingku dan membenakan selimutku yang turun.
Keesokannya pagi menyambut. Aku menikmati pemandangan butir-butir embun melekat pada daun padi. Ibu tak berbicara apapun. Ia menyiapkan makan pagi untukku dan menyiapkan bekal sekolahku. Setiap hari rabu, aku mengikuti les di rumah Pak Harjo, pengajar Bahasa Inggris di sekolahku. Aku pulang sampai jam 16.00 jadi setiap hari rabu Ibu membawakanku bekal makan siang. Kejadian kemarin malam kucoba pahami dan perginya ayah tidak pula kutanyakan pada Ibu.
Yang paling ku kutuk adalah orang-orang di desaku.mereka selalu mencampuri urusan orang lain. Terkadang aku malas menjawab sewaktu mereka bertanya kemana ayahku pergi, apa yang terjadi atara ayah dan ibumu dan orang yang paling ku kutuk adalah Mak Juni, janda 5 tahun itu. Ia amat cerewet. Bahkan, ia juga suka menggosip, suka mengumbar-umbar perkara orang lain.
“Apa ayahmu selingkuh?”
Suatu ketika dia bertanya padaku. Mengapa dia bertanya hal yang tidak aku ketahui. Dan ia bertanya dengan kalimat itu di hadapan orang banyak. Tentulah mereka akan bertanya-tanya.
“Entahlah.” Kujawab seadanya. Saat ia mau berta nya lagi aku buru-buru meninggalkan tempat itu.
Esok malamnya Ayah pulang dengan langkah gontai. Mulutnya bau tidak sedap. Ia mendobrak pintu kamar dan mencari sesuatu. Ibu membuntutinya dan lantas memarahi Ayah. Kudengar suara sebuah tamparan dari bilik Ibu. Aku bergegas melirik ke biliknya. Ayah keluar membawa perhiasan Ibu. Ibu menahannya. Seketika dicambuknya punggung ibu dengan ikat pinggang yang dilepas oleh Ayah dari celananya. Ayah mengacungkan tangan kanannya bakal memecut aku. Kupejamkan mata ternyata Ibu memelukku. Ia melindungiku dari pecutan Ayah. Ibu merintih kesakitan.
“Aku mohon, aku mohon. Aku mohon, Ayah. Jangan.” Hanya itu yang bisa kusuarakan. Aku Cuma berkali-kali berkata demikian tetap ayah memecut Ibu. Setelah itu Ayah keluar seraya membawa perhiasan Ibu yang diwariskan oleh nenek.
“Mau dibawa kemana milikku.” Seru Ibu masih dalam isakan tangis.
“akan kugunakan buat kawin. Aku sudah muak melihat rupamu dan tubuhmu.”
Ayah kemudian hilang dalam kegelapan malam.
Ibu tetap memelukku erat. Aku sama seperti Ibu, megeluarkan air mata yang asin kurasakan di lidah. Itu tangisan terakhirku untuk Ayah yang ku kutuk and kelahirannya. Bertemu dengan Ibuku dan mengawininya lantas pergi kawin dengan perempuan lain.
Sesungguhnya, aku masih mengharapkan janji Ayah yang akan membuatkanku kolam ikan. Ikan wader yang kutangkap di kali dekat rumah Marto, temanku, yang membantuku menagkap ikan wader ini dan kemudian ku masukkan di toples berisi air. Kuberi dia makan biar tidak kelaparan.
Pandangan orang di desaku berubah terhadap kami sejak Ayah meninggalkan kami. Semua orang memandang kami dengan mata penuh iba. Hanya itu yang dapat mereka lakukan. Setiap hari ku coba untuk Nampak bahagia agar aku tak dapat merasakan perasaan mereka. Yang kulakukan adalah mengerjakan apa yang kusuka. Ini kuharap dapat membantuku menghilangkan nama Ayah dalam benakku.
Pada hari ulang tahunku yang kedua belas. Ibu berjanji akan membuatkan baju baru untukku. Kudengar Ibu semalaman menjahit baju buatku yang dijanjikan oleh Ibu. Aku tidur dengan hati gembira dan bermimpi memakai baju baru .
Paginya kulihat batuk-batuk Ibu tambah parah. Sudah semenjak dua bulan terakhir Ibu terus-terusan batuk dan berkeluh kalau kepalanya pusing. Tapi kemudian, dia berkata padaku bahwa ia baik-baik saja. Aku pun berangkat sekolah dengan bekal siangku. Di sekolah aku tetap seperti biasanya. Diam, namun dihatiku berbicara banyak mengenai baju baruku. Sorenya kau telah pulang dengan bekal yang kosong. Berjalan melalui jalan berkerikil dan sebagian becek disebabkan hujan semalam. Hingga di depan rumahku, aku merasa ragu karena banyak orang kampung di halamanku. Seseorang menuntunku ke dalam dan menundudukkanku di sisi ranjang Ibuku. Wajah Ibu pucat. Matanya tertutup. Aku lalu mengucap memanggillanya.
“Ibu.”
“Ibumu telah tiada.”
Seorang perempuan mebisikkan suara di telingaku. Kupandang dia dan berganti memandang wajah Ibuku yang tubuhnya terbujur kaku. Menyedihkan, bisikku dalam hati.
Pagi hari jam delapan, aku bersiap-siap pergi meninggalkan rumahku yang kudiami selam 12 tahun 2 hari. Pagi yang cerah, pagi yang mengharukan. Kuamati halaman samping dibawah pohon sawo. Disinilah Ayah akan membuatkanku kolam ikan untuk waderku. Kuletakkkan waderku yang di dalam toples di tengah-tengah. Aku memakai baju baru yang Ibu buatkan. Bercorak ungu dengan kembang-kembang kuningnya. Ibu telah menepati janjinya.
“Sani!” teriak pamanku.
Mulai saat ini, aku akan tinggal di rumah pamanku di Bandung. Ia yang akan mengurusi seluruh kebutuhanku sebagai pengganti orang tuaku.
“Aku segera, Paman.” jawabku.
Kuambil ikan waderku, kulepaskan di kali kecil di pinggir sawah disamping rumahku. Ayah takkan pernah menepati janjinya, batinku mengutuk.
Rumah yang setengah berdinding tembok it uterus kuamati hingga mobil pamanku berbelok hingga aku tak melihat antenna rumahku. Pagi yang menyedihkan.
Written by: Khusnul Khotimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar