Tiba-tiba tanganku bergetar, merinding. Aku melihat sekeliling. Aku mencoba menenangkan diridengan cara menggoyang-goyangkan tubuhku ke depan belakang. Tetapi aku tidak bisa tenang. Aku kacau.
Suara benda pecah, suara teriakan, suara pukulan.
Aku semakin cepat menggoyang-goyangkan tubuhku. Kutututp telingaku agar tak bisa dengar pertikaian mereka. Mereka bertengkar terlalu keras, sangat keras. Aku berteriak sendiri dalam kamarku. Aku bersembunyi di lemari. Berharap tidak ada yang menemukanku untuk dijadikan sasaran. Disana aku sampai tertidur.
Keesokannya. Kurasa sudah pagi. Semua tenang. Terdengar suara kicau burung. Kucingku menghampiriku, mengelus-elus pada kakiku. Kuangkat dia ke tanganku. Aku membuka jendela. Ada ranting kering bergerak disamping jendela. Kulihat dari kamarku mobil ayah tak ada. Maka aku keluar dari kamarku. Ibu masih tidur di ranjang. Di wajahnya ada bekas kebiru-biruan. Kemarin pukulan ayah terdengar keras ,pasti ibu sakit. Aku menyiapkan sarapanku sendiri. Sepiring sereal yang tersedia di kulkas. Kuberi kucingku juga. Selesai semuanya aku keluar bersama kucingku. Berjalan-jalan di sepanjang perumahan. Aku pergi ke sebuah rumah tua dan tidak berpenghuni. Satu rumah yang sepi. Orang-orang bilang rumah itu berhantu. Teman-temanku juga tidak ada yang berani kemari. Maka kubuktikan sendiri datang ke rumah itu dan tidak ada apapun yang menakutkan.
Di teras rumah itu ada kursi panjang yang cukup untuk tubuh kecilku tidur disana. Aku masuk ke sebuah ruangan di rumah itu yang terdapat banyak bukutersusun dan berdebu. Ruamg itu bukan perpustakaanrumah namun sebuah kamar. Aku tidur berselimut di ranjang besar sambil jariku menggaruk-garuk bantal. Aku bermimpi. Suatu saat dimana aku tidak pernah mendengar pertengkaran orang tuaku. Suatu tempat dimana aku bisa tidur tenang bersama kucingku. Dan saat itu aku akan bahagia. Aku menyimpan keinginan itu dan membuat harapan. Tetapi terjadi kembali malam yang membuatku resah dan gelisah. Hingga aku ingiun menggoyang-goyangkan kepalaku yang sakit. Banyak barang yang dilempar. Suaranya nyaring. Ibu berteriak-teriak ketakutan. Suara pukulan ayah, suara makian ayah. Aku ikut memaki persis yang diucapkan ayah.
Keesokannya. Kurasa sudah pagi. Semua tenang. Terdengar suara kicau burung. Kucingku menghampiriku, mengelus-elus pada kakiku. Kuangkat dia ke tanganku. Aku membuka jendela. Ada ranting kering bergerak disamping jendela. Kulihat dari kamarku mobil ayah tak ada. Maka aku keluar dari kamarku. Ibu masih tidur di ranjang. Di wajahnya ada bekas kebiru-biruan. Kemarin pukulan ayah terdengar keras ,pasti ibu sakit. Aku menyiapkan sarapanku sendiri. Sepiring sereal yang tersedia di kulkas. Kuberi kucingku juga. Selesai semuanya aku keluar bersama kucingku. Berjalan-jalan di sepanjang perumahan. Aku pergi ke sebuah rumah tua dan tidak berpenghuni. Satu rumah yang sepi. Orang-orang bilang rumah itu berhantu. Teman-temanku juga tidak ada yang berani kemari. Maka kubuktikan sendiri datang ke rumah itu dan tidak ada apapun yang menakutkan.
Di teras rumah itu ada kursi panjang yang cukup untuk tubuh kecilku tidur disana. Aku masuk ke sebuah ruangan di rumah itu yang terdapat banyak bukutersusun dan berdebu. Ruamg itu bukan perpustakaanrumah namun sebuah kamar. Aku tidur berselimut di ranjang besar sambil jariku menggaruk-garuk bantal. Aku bermimpi. Suatu saat dimana aku tidak pernah mendengar pertengkaran orang tuaku. Suatu tempat dimana aku bisa tidur tenang bersama kucingku. Dan saat itu aku akan bahagia. Aku menyimpan keinginan itu dan membuat harapan. Tetapi terjadi kembali malam yang membuatku resah dan gelisah. Hingga aku ingiun menggoyang-goyangkan kepalaku yang sakit. Banyak barang yang dilempar. Suaranya nyaring. Ibu berteriak-teriak ketakutan. Suara pukulan ayah, suara makian ayah. Aku ikut memaki persis yang diucapkan ayah.
“ Bajingan ! “
“ Bajingan ! “
“ Bangsat ! “
“ Bangsat ! “
“ Kau pelacur ! “
“ Kau pelacur ! “
“ Perempuan jalang, perempuan hina ! “
“ Perempuan jalang, perempuan hina ! “
Seraya aku memukul-mukul pintu lemari. Kucingku mengeong-ngeong bertingkah tak karuan. Bulu-bulunya berdiri. Lalu suara tangis, lemparan barang-barang, saling caci, saling tampar. Dan kupikir pada malam hari semua orang sudah gila. Aku pergi ke kolong ranjang. Bersembunyi dari orang gila.
Esoknya, ketika semua terasa sepi, sunyi dan sedih. Aku pergi ke rumah yang disebut orang-orang sekitar rumah hantu. Di sebuah ruang dimana aku mendapatkan kedamaian bersama kucing malangku yang belum sempat kuberi makan karena tidak ada makanan di kulkas. Disini aku dapat tidur setenang mungkin bagai di surga. Selimut ini bagai telah membelaiku layaknya tangan ibu. Kicau burung dan suara angin seperti dongeng sebelum tidur yang diceritakan oleh ayah untukku. Maka aku menyimpan keinginan tinggal di suatu tempat yang tenang dan asing bagi siapapun tapi tidak bagi aku dan kucingku. Sebab tempat itu aku yang menemukannya dan rahasia bagi orang lain bahkan bagi ayah dan ibuku. Maka aku berharap untuk menjadikannya kenyataan. Aku berdoa sepenuh hatiku takkan ada orang gila di tempatku itu. Indah. Ada sungai, ada taman bunga, ada pohon-pohon besar dan burung-burung bertengger, membuat sarang bagi anak mereka di ketiak pohon.
Aku melihat ibu di kamar. Dia ditindih oleh laki-laki tanpa busana begitu juga ibu dan laki-laki itu tidak kukenal. Aku melihat ayah tersenyum di depan seorang wanita dan memberinya cincin. Wanita itu tersenyum lebar. Aku tahu itu bukan ibu.
Senja menjelang. Kerling di gemercik air. Masih terdengar kicau burung, angsa di sungai bersama pasangannya. Katak terjun. Suara plung ! Bergema. Ranting kering, burung menapak. Senja bulan desember. Sepuluh tahun berlalu. Di sebuah rumah yang terpencil dan jauh dari keramaian. Dimana atapnya sudah banyk yang berlubang. Dinding kayu yang sudah keropos. Ayunan di pohon akasia yang patah. Namun sungainya tetap mengalir dan halamannya masih ditumbuhi tanamna liar yang makin banyak. Para pekerja kontraktor itu datang. Mereka akan menghancurkan rumah itu. Seseorang masuk dan berteriak.
“ Hei kalian ! Lihatlah ke dalam sini ! “ Teman-temannya masuk ke dalam. Yang berteriak tadi menarik selimut di ranjang itu.
“ Tulang siapa itu ? “ tanya sang mandor terkejut melihat susunan tulang manusia tergeletak di ranjang. “ Sepertinya tulang anak kecil. “ ucap yang lain. Sejenak semua terdiam mengitari tulang-tulang itu. Kemudian sang mandor membangunikan mereka dari lamunan.
“ Hei ! Jangan bengong aja. Cepat angkat tulang-tulang itu dan segera hancurkan rumah ini. “ lalu keluar dan diikuti oleh lainnya sambil membawa tulang-tulang itu keluar.
“ Bajingan ! “
“ Bangsat ! “
“ Bangsat ! “
“ Kau pelacur ! “
“ Kau pelacur ! “
“ Perempuan jalang, perempuan hina ! “
“ Perempuan jalang, perempuan hina ! “
Seraya aku memukul-mukul pintu lemari. Kucingku mengeong-ngeong bertingkah tak karuan. Bulu-bulunya berdiri. Lalu suara tangis, lemparan barang-barang, saling caci, saling tampar. Dan kupikir pada malam hari semua orang sudah gila. Aku pergi ke kolong ranjang. Bersembunyi dari orang gila.
Esoknya, ketika semua terasa sepi, sunyi dan sedih. Aku pergi ke rumah yang disebut orang-orang sekitar rumah hantu. Di sebuah ruang dimana aku mendapatkan kedamaian bersama kucing malangku yang belum sempat kuberi makan karena tidak ada makanan di kulkas. Disini aku dapat tidur setenang mungkin bagai di surga. Selimut ini bagai telah membelaiku layaknya tangan ibu. Kicau burung dan suara angin seperti dongeng sebelum tidur yang diceritakan oleh ayah untukku. Maka aku menyimpan keinginan tinggal di suatu tempat yang tenang dan asing bagi siapapun tapi tidak bagi aku dan kucingku. Sebab tempat itu aku yang menemukannya dan rahasia bagi orang lain bahkan bagi ayah dan ibuku. Maka aku berharap untuk menjadikannya kenyataan. Aku berdoa sepenuh hatiku takkan ada orang gila di tempatku itu. Indah. Ada sungai, ada taman bunga, ada pohon-pohon besar dan burung-burung bertengger, membuat sarang bagi anak mereka di ketiak pohon.
Aku melihat ibu di kamar. Dia ditindih oleh laki-laki tanpa busana begitu juga ibu dan laki-laki itu tidak kukenal. Aku melihat ayah tersenyum di depan seorang wanita dan memberinya cincin. Wanita itu tersenyum lebar. Aku tahu itu bukan ibu.
Senja menjelang. Kerling di gemercik air. Masih terdengar kicau burung, angsa di sungai bersama pasangannya. Katak terjun. Suara plung ! Bergema. Ranting kering, burung menapak. Senja bulan desember. Sepuluh tahun berlalu. Di sebuah rumah yang terpencil dan jauh dari keramaian. Dimana atapnya sudah banyk yang berlubang. Dinding kayu yang sudah keropos. Ayunan di pohon akasia yang patah. Namun sungainya tetap mengalir dan halamannya masih ditumbuhi tanamna liar yang makin banyak. Para pekerja kontraktor itu datang. Mereka akan menghancurkan rumah itu. Seseorang masuk dan berteriak.
“ Hei kalian ! Lihatlah ke dalam sini ! “ Teman-temannya masuk ke dalam. Yang berteriak tadi menarik selimut di ranjang itu.
“ Tulang siapa itu ? “ tanya sang mandor terkejut melihat susunan tulang manusia tergeletak di ranjang. “ Sepertinya tulang anak kecil. “ ucap yang lain. Sejenak semua terdiam mengitari tulang-tulang itu. Kemudian sang mandor membangunikan mereka dari lamunan.
“ Hei ! Jangan bengong aja. Cepat angkat tulang-tulang itu dan segera hancurkan rumah ini. “ lalu keluar dan diikuti oleh lainnya sambil membawa tulang-tulang itu keluar.
Written by: Khusnul Khotimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar