Minggu, 01 Mei 2011

BIOGRAFI ANDREA BOCELLI

Andrea Bocelli
Andrea Bocelli adalah seorang penyanyi terkenal di Italia. Dia lahir pada 22 September 1958 di Lajatico, sebuah kota yang dekat dengan kota Pisa. Semasa kecil, Bocelli tinggal di perkebunan zaitun dan anggur milik orangtuanya, Sandro Bocelli yang meninggal pada 30 April 2000. Keluarganya merupakan penganut Katolik yang taat. Sejak berumur 6 tahun, Bocelli sudah mendapatkan kursus piano lalu flute dan saksofone. Dia juga menjadi pemain organ di gereja. Sayangnya, Bocelli mempunyai penglihatan yang buruk sejak kecil karena penyakit glaucoma dan pada usia 12 tahun, Bocelli menjadi buta setelah mendapat kecelakaan kecil saat bermain sepakbola. Namun, kebutaannya bukan merupakan penghalang bagi kecintaan Bocelli pada music klasik. Dan karena Bocelli sangat mencintai dunia kalsik, dia mendekati Franco Corelli, salah satu penyanyi klasik papan atas yang juga adalah idolanya untuk menjadi gurunya dalam olah suara dan membantunya meniti karil di dunia musik klasik. Selain itu, ia juga bekerja sama dengan berbagai penyanyi klasik seperti Lucianno Pavarotti, Jose Carreras, termasuk Diva pop dunia, Celine Dion untuk membantunya berkiprah di dunia musik klasik. Sebelum memulai karirnya, Andrea bermain piano di bar-bar lokal untuk membayar pelajaran menyanyinya dan sementara itu, ia juga melanjutkan studinya di jurusan hukum di Universitas Pisa yang kemudian ia jalani profesi ini selama satu tahun saja. Setelah mengambil bagian dalam kelas master menyanyi yang diselenggarakan oleh Franco Corelli di Turin, Bocelli mempunyai kesempatan untuk membuat debutnya di panggung opera di Verdi’s Macbeth dalam peran Macduff disutradarai oleh Claudio Desderi dan wisata Pisa, Mantova Lucca dan Livorno. Tahun 1993, Bocelli menandatangani kontrak rekamannya yang pertama. Lagunya yang paling terkenal adalah Con Te Partirò (Time to Say Goodbye), sebuah lagu duet dengan Brightman. Bocelli juga pernah menyanyikan lagu di depan Paus. Pada tahun 1992, Bocelli menikah dengan Enrica Cenzatti pada tanggal 27 Juni. Dengan Enrica Cenzatti, ia memiliki 2 orang anak bernama Amos yang lahir pada bulan Februari 1995 dan Matteo yang lahir pada bulan Oktober 1997. Bocelli dan Enrica Cenzatti akhirnya berpisah pada tahun 2002. Walaupun sudah berpisah dengan istri pertamanya, namun Andrea tidak ingin segera menikahi tunangannya yang bernama Veronica Berti yang telah dia kenal selama beberapa bulan terakhir. Andrea dan tunangannya sekarang tinggal di sebuah villa, yang juga digunakan sebagai hotel, lengkap dengan studio music didalamnya. Mantan isteri dan kedua anaknya tinggal didaerah yang sama dengan Andrea namun di Villa yang berbeda (JC, 2010). Meskipun Bocelli telah menjadi penyanyi terkenal yang mempunyai suara khas tenor, namun beberapa orang masih mengkritiknya. Kritikus Bernard Holland mengkritik Bocelli, Ia mengatakan bahwa nada suara Andrea serak dan suaranya terlalu tipis. Gerakan Andrea juga dirasa kurang nyaman dan terlalu berlebihan saat menyanyikan nada-nada tinggi. Andrew Clement juga mengatakan bahwa intonasi suara Andrea kurang jelas saat bernyanyi dan kurangnya ekspresi dari Andrea saat bernyanyi. Kritikus music Steve Smith mengatakan bahwa suaranya menyenangkan dan pitch control nya aman, namun suaranya kecil. Suaranya terkesan memberontak namun ekspresif (JC, 2010). Selama karirnya dalam bidang musik, Bocelli menghasilkan banyak karya dan mendapat penghargaan. Bocelli beberapa kali menyanyikan lagu untuk soundtrack. Diantaranya adalah Wanted (2008), Ronin (1998), Blades of Glory (2007), Quest for Camelot (1998), The Lazarus Child (2005), The 71st Annual Academy Awards (1999) (TV), The Sopranos: Commendatori (#2.4) (2000), Vajont - La diga del disonore (2001), Chocolate com Pimenta (2003), Sarah Brightman in Concert (1998) (TV), Cuando me enamoro (2010), The Clone: Episode #1.1 (2001. Beberapa penghargaan diantaranya Emmy Awards pada tahun 2000 untuk nominasi Emmy Outstanding Classical Music-Dance Program yang bekerjasama dengan David Horn (executive producer), Jac Venza (executive producer),Costa Pilavachi (executive producer), Clive Bennett (executive producer), John Walker , Myung-Whun Chung (conductor) dalam episode Andrea Bocelli: Sacred Arias; RTL Golden Lion Awards tahun 1997 memenangkan Golden Lion Special Award yang bekerjasama dengan Sarah Brightman (performer), Francesco Sartori (music), Lucio Quarantotto (lyrics) untuk komposisi lirik dan penampilan lagu It's Time to Say Goodbye ; dan masuk dalam daftar Guinness Book of World Records karena mendapatkan posisi 1,2, dan 3 secara berturut-turut di daftar album klasik US (Magwire,2010). Dan dibawah ini adalah konser-konser dari Bocelli. 
1. 1992 
  • Andrea mengikuti Franco Corelli’s master class di Turin, merepresentasikan dirinya sendiri dengan Puccini’s. 
2. 1993 
  • Andrea mengikuti tour bersama Zucchero, mengadakan konser diseluruh Eropa, menyanyikan bagian
  • Maestro Pavarotti’s di “Miserere”.Di bulan November, Andrea mengikuti konser/Festival di Sanremo. 
  • Di bulan Desember, Andrea mengikuti konser Teatro Romolo Valli di Reggio Emilia. 
3. 1994 
  • Di bulan February, Andrea memenangkan Festival di Sanremo, sebagai pendatang baru untuk kategori “Nuove Proposte”,dengan lagu “Il Mare Calmo della Sera”.
  • Di bulan Mei, Andrea mengadakan tour di Italy dengan Gerardina Trovato.
  • Di bulan September, dia diundang untuk berpartisipasi di “Pavarotti International” konser di Modena. 
4. 1995
  • Di bulan February, Andrea mempersembahkan “Con Te Partirò" di Festival di Sanremo.
  • Di musim panas, Andrea tour keliling Eropa, mempertunjukkan konser yang berkualitas di Italy dan untuk pertama kali nya di United States.
  • Di bulan November, Andrea tour mengelilingi Belgium dan Holland dengan Night of the Proms. Dia menyanyikan "Miserere" dan "Funiculi, Funicula" dengan John Miles. 
5. 1996 
  • Pada tanggal 23 November, Andrea bernyanyi dengan penyanyi sopran dari Inggris, Sarah Brightman (mantan istri dari King of Musicals, Andrew Lloyd-Webber) di Germany.
6. 1997 
  • Di bulan Agustus, Andrea menyanyi di Puccini Festival di Torre del Lago.
  • Selama musim panas, Andrea mempertunjukkan 22 konser di Jerman. 
  • Di bulan September, Andrea mempertunjukkan sebuah konser di Piazza dei Cavalieri di Pisa. 
  • Pada tanggal 14 September, Andrea mendapat Echo Klassik award untuk “Viaggio Italiano” di Munich. Pemain biola Vanessa Mae juga menerima award. 
  • Pada tanggal 27 September, mengikuti Eucharist Congress di Bologna. 
7. 1998 
  • Dari tanggal 18-25 February, Andrea ambil bagian di Rodolfo in Puccini’s “La Bohème”, yang diaransemen oleh Steven Mercurio di Teatro Communale di Cagliari. 
  • Pada tanggal 19 April, Andrea ambil bagian di American theatre,mempersembahkan sebuah konser di Kennedy Center di Washington, dan kemudian diterima oleh Presiden Clinton di White House keesokan harinya.
  • Pada tanggal 5 Mei, Andrea memenangkan dua World Music Awards di Monte Carlo, satu untuk “Best Italian Singer” dan “Best Classical Interpretation”.
  • Di bulan July dan August, Andrea mengelilingi north and south America. Tiket Konsernya di legendary Madison Square Gardens terjual habis. 
  • Di bulan November, dia menyanyikan “The Prayer” with Celine Dion di saat konser natal.
8. 1999
  • Dari tanggal 11-14 April, Andrea tour di west coast of America, diakhiri dengan konser di San Diego.
  • Pada tanggal 27 Juni, Andrea berpartisipasi di konsernya Michael Jackson 
  • Dari tanggal 10-27 Agustus, Andrea tampil di Arena di Verona sebagai tamu di tujuh pertunjukkan di “La Vedova Allegra”.
  • Queen Elizabeth II mengundang Andrea untuk ambil bagian di Pertunjukkan Royal Variety diselenggarakan pada tanggal 29 November di Birmingham.
  • Dari tanggal 12-21 December, Andrea menunjukkan performa nya di 6 konser di Barcelona, Strasburg, Lisbon, Zagabria, Budapest dan Messina, yang diaransemen oleh Maestro Lorin Maazel. f. Pada tanggal 31 Desember, Andrea mengakhiri konsernya yang sudah berjalan lebih dari 30 hari dengan sebuah konser di Nassau Coliseum di New York, di depan 8,000 penonton untuk merayakan tahun baru millenium. 
9. 2000 
  • Pada tanggal 31 Maret, dia memulai perjalanan konsernya di tahun 2000 dengan 8 konser di Amerika. 
  • Dari tanggal 12-17 Mei, Andrea melanjutkan konser 2000 World Tour dengan 4 konser di Japan dan Korea yang di aransemen oleh Maestro Chung.
  • Dari tanggal 17 Agustus, Andrea bernyanyi di tenor’s part di Verdi’s Messa da Requiem at the Arena di Verona, diaransemen oleh Lorin Maazel, didepan sekitar 10,000 penonton.
  • Di bulan November, Opera pertama Andrea - Puccini’s La Bohème. 
10. 2001
  • Pada tanggal 19-23 Januari, Andrea mengadakan opera yang disutradarai oleh Steven Mercurio.
  • Pada tanggal 27 dan 28 Januari, Andrea menyanyi di teater Staatsopera di Munich, Jerman, disutradarai oleh Zubin Mehta. 
  • Dari 22-06 Maret April, Andrea lagi berkeliling Amerika Serikat, didampingi oleh Cecilia Gasdia dan Hartford Symphony Orchestra, di bawah arahan Marcello Rota. Tickets for theatres seating up to 20,000 were sold out. Tiket untuk teater tempat duduk sampai 20.000 terjual habis.
  • Pada tanggal 21 dan 22, Andrea dilakukan dua konser sukses lainnya dengan Ana Maria Martinez dan New Symphony Orchestra, disutradarai oleh Steven Mercurio, satu di Hyde Park di London dan yang lainnya di Arena RDS di Dublin. 
11. 2002 
  • Pada tanggal 28 Mei, ia mengambil bagian dalam tahunan "Pavarotti & Friends" konser, untuk Angola, diselenggarakan di Modena.
  • Pada tanggal 26 dan 3 Agustus, ia bermain Letnan BF Pinkerton di Madame Butterfly di Festival Puccini ke-48 di Torre del Lago.
  • Pada 24 Oktober, Andrea mulai nya "Sentimento Tour" di Zurich, di mana ia tampil di arena besar di kota-kota Eropa dan Amerika beberapa. 
12. 2003 
  • Pada 24 Mei, Andrea melakukan konser di Piazza del Campo, Siena, dengan soprano Maria Luigia Borsi dan Lucia Dessanti. 
  • Setelah istirahat musim panas, dari akhir Agustus sampai Oktober, Andrea meneruskan World Tour, di ibukota Eropa dan di Kairo, disertai oleh Maria Luigia Borsi, Ruth Rogers dan Marcello Rota. 
  • Pada bulan November, Andrea tur Amerika Serikat lagi, kali ini disertai oleh Ana Maria Martinez atau Kallen Esperian, dan Steven Mercurio.
  • Pada bulan Desember, Andrea melakukan konser pertama di Cina dan, pada akhir bulan, menyanyikan Gounod's "Ave Maria" di pernikahan Pavarotti di Modena di depan ratusan selebriti diundang. 
13. 2004 
  • Pada bulan Oktober ia memberikan konser yang lebih di Asia, menyajikan pop album baru "Andrea" dan menerima "CD berlian" selama lebih dari 50 juta CD dijual. Pada bulan Desember, tahun yang berakhir pantas ketika Andrea bernyanyi di Hadiah Nobel Perdamaian Gala untuk menghormati pemenang Wangari Maathai. 
14. 2005 
  • Andrea diundang untuk mengambil bagian dalam konser manfaat "Music untuk Asia" dan Live 8 di Roma dan Paris. 
  • Selama paruh kedua tahun ini, Andrea tampil di konser di Kroasia, Serbia, Italia, Amerika Serikat, Dubai, Swiss, dan terakhir, Skandinavia. 
  • Pada bulan Desember, Andrea memberikan konser pop pertama di Desa Lake Las Vegas, Amerika Serikat d. Akhir tahun ditandai dengan partisipasi Andrea di Royal Natal Show, yang diadakan pada bulan Desember di sejumlah kota Amerika. 
15. 2006 
  • Dengan konser di "Medali's Plaza", Andrea mulai tur yang akan membawanya dari Italia ke Inggris, Irlandia, Skotlandia, sejumlah negara Eropa, dan kembali ke Amerika. 
  • Pada bulan Maret, Andrea menerima kehormatan Gran Ufficiale dari negara Italia untuk melayani negaranya sebagai penyanyi terkenal di seluruh dunia, dan kembali ke Festival di Sanremo, tempat ia memulai karirnya sepuluh tahun sebelumnya. 
  • Pada bulan Maret dan Mei, Andrea mengambil bagian dalam beberapa konser klasik Florence dan Napoli (Messa di Gloria, Pupuh di kecepatan, Petite Messe Solennelle) 
  • Pada akhir Juli, Andrea kembali ke rumah dengan konser kemenangan di Teatro del Silenzio dibangun baru-baru ini di Lajatico. 
  • Lain tempat yang tinggi dari tur konser tahun ini terjadi pada bulan September ketika Andrea debutnya di Avery Fisher Hall terkenal di New York. f. Pada bulan Desember, Andrea berakhir 2006 dunianya tur dengan konser lainnya di Amerika dan Eropa. 
16. 2007 
  • Konser di Munich, Jerman, Gasteig im Philharmonie. 
  • Concerto del Cuore, Genova - Italia, Teatro Carlo Felice. 
  • Gioachino Rossini - "Petite Messe Solennelle"-Teatro Massimo Bellini, Catania, Sicilia - Italia. 
  • Konser di Moskow di Arena Indoor Olimpiisky. 
17. 2008 
  • 15/04/2008 : Asian TOUR 
  • 17/06/2008 : Carmen 
  • 20/07/2008 : Lajatico Teatro del Silenzio 2008 
  • 20/08/2008 : Australia Tour 
  • 05/10/2008 : Bibbia di giorno e di Notte 
18. 2009
  • Konser di Auckland 
19. 2010 
  • Konser di Piramida (Bulan September 2010) 

DAFTAR PUSTAKA 
JC, Chen Luph. 2010. Andrea Bocelli. http://chen2miracle.blogspot.com/2011/01/andrea-bocelli.html. Accessed April.03.2011 at 09.23 a.m. 
Magwire, T.J. 2010. Biography for Andrea Bocelli. http://www.imdb.com/name/nm0004765/bio. Accessed April.03.2011 at 09.30 a.m. 

Written by Khusnul Khotimah

Sabtu, 30 April 2011

Between Trees and Three Ravens

INTRODUCTION
There are many kinds of poems such as reflective or lyrical poetry is apiece of poem that represent a monologue (soliloquy) in which the speaker is speaking with himself and no other apparent characters are present. Ballad is a story written in verse. Sonnet is a lyric of fourteen lines. Narrative poetry is a piece of poem that represents a narrative story. Ode is a piece of poem that represents a celebration of victory. Elegy is a piece of poem that represents a lament of death. In this essay will discuss about the comparison and the contrast of two poems entitled Trees by Alfred Joyce Kilmer and Tree Ravens by Anonymous. 
DISCUSSION

1. Contrast

The Three Ravens is a kind of children ballad by anonymous and has twenty three lines. This ballad dates back to 1611 where it appears in Melismata. Musicall Phansies Fitting the Court, Cittie, and Countrey Humours by T. Ravenscroft. This ballad set almost entirely within an anthropomorphic world. It tells about three ravens have talking about their breakfast, but this ballad rather shows two ravens who function as ballad’s narrator than three ravens. It is showed in the eight to the end line: 
Then one of them said to his mate,
“Where shall we our breakfast take?”
“Downe in yonder greene field, There lies a knight slain under his shield……”
One of three ravens tells of a knight lying dead beneath his shield. They contemplate taking their breakfast on his body, but they are thwarted by the loyalty of the hounds that lie at his feet and of the hawks who circle the air whose keep their master from enemies in order to “there’s no fowle dare came nie”. Finally there emerges a fallow doe that drawn "as great with young as she might goe." She takes the knight on her back, carries him to "earthen lake," and buries him before dying herself. The Three ravens present in capsule form the dual role of anthropomorphic animals. The animals may be the allies of human being, but, on the other hand, they are different from the human world and hostile it. It is drawn in the twelve line to last line:
“His hounds they lie downe at his feete,
So well they can their master keepe.
“His haukes they flie so eagerly,
There’s no fowle dare him come nie.”
Downe there comes a fallow doe,
As great with young as she might goe.
She lift up his bloudy hed,
And kist his wounds that were so red.
She got him up upon her backe,
And carried him to earthen lake.
She buried him before the prime,
She was dead herselfe ere even-song time.
God send every gentleman, Such haukes, such hounds, and such a leman.
The ambiguous nature of the doe in this ballad allows for a variety of folkloric, historical, and allegoric interpretations, since the ballad makes no attempt to mediate between her animal and her human characteristics. Instead, it presents her so matter-of-factly that it is scarcely possible to say whether she is intended as a woman metaphorically identified as a doe, or whether she is in fact a deer possessed of human traits. The Three Ravens incorporate the dual symbols of life and death, but she also functions within another metaphoric sphere, that of the hunt. In this ballad, the presence of hawks and hounds, the usual animal companions of the hunter, suggests that the slaying of the knight occurred while he was engaged in the chase. This point to the fallow doe as the likely object of the hunt. Deer hunting was traditionally considered the sport of the nobility--and the deer, along with the boar, is the most frequently hunted animal in mediaeval epics and romances. The beauty of the deer, as well as its inherent vulnerability, highlights the paradox of the love-hunt in which the intended prey is also the beloved. The behavior of the doe to the knight in The Three Ravens is full of tenderness and self-sacrifice. The doe is thus victim and redeemer, quarry and lover, animal and human. While, Trees has difference from The Three Ravens. 
Trees was written by Alfred Joyce Kilmer an American journalist, poet, literary critic, lecturer and editor. He was born on December 6 in 1886 and died on July 30 in 1918. Tress has twelve lines of eight syllables in strict iambic tetrameter. The poem's rhyme scheme is rhyming couplets rendered aa bb cc dd ee aa. Despite its deceptive simplicity in rhyme and meter, Trees is notable for its use of personification and anthropomorphic imagery. Alfred Joyce Kilmer wrote this poem when he was fascinated with the trees as he opened his window one day that morning. According to Kilmer’s son, Kenton, the poem was not inspired by specific tree, but many trees. The room where he wrote that poem is a room where the window looked out down a hill which can be seen many trees. The idea of writing this poem personifying a person’s trait or actions to intimate object, a tree where he found it as a lovely idea. It is showed in these lines:
A tree whose hungry mouth is pressed
Against the earth’s sweet flowing breasts.
A tree gets its water for nourishment on the ground for survival.
“A tree whose hungry mouth is pressed” represents the roots clinging on to the ground while it drinks the “earth’s sweet flowing” which represents water that nourishes the life of the tree. In connection with this, just like us, humans, we get our sustenance from the earth’s abundance and resources. These give us the strength of life for it nourishes plants and other beings. As such, it is also referred to as the Mother Earth. "A tree looks at God all day And lifts her leafy arms to pray." A tree grows upward and thus seem to be reaching to God. People from all walks of life though of different races, cultures, colors or beliefs, are reaching to God, praising, worshipping, praying and thanking Him for the bountiful blessings He gave to us. "A tree that may in summer wear A nest of robins in her hair." The trees’ thick foliage serves as shade and shelter for birds and other creatures. During summer time, birds rest on the “trees’ hair” which symbolizes the trees’ branches. "Under whose bosom snow has lain; Who intimately lives with rain." During winter, snow falls thus covering the trees especially its trunk. Being sturdy, trees withstand the cold. When the rain comes, trees grow better and healthier. Their leaves are not only becoming greener but also shinier. The tree “intimately lives with rain” because rain nourishes it and makes it luxuriant.
"Poems are made by fools like me But only God can make a tree." A person can never make a tree because he/she is not God. Only God has the power to create a perfect natural form like a tree. “Fools” was the term used by the Alfred Joyce Kilmer to describe poets just like him, who loves to write poems as lovely as a tree. In as much that, it comes from a person’s product of his creations and imaginations. 

2. Comparison 

Both poems have similarities. In the two last lines tells about the great of God. In The Three Ravens tells how He is very glory and kind to send such good kind. God send every gentleman, Such haukes, such hounds, and such a leman. In the Trees tells about how He is the only one who can create beautiful world and no one can contest Him. Poems are made by fools like me, But only God can make a tree. Both poems also use anthropomorphic. In The Three Ravens use anthromorponic animals are haukes, hounds and doe. In Trees use anthromorponic imagery like “A tree whose hungry”, “the earth's sweet flowing breast”, “A tree that looks at God all day”, “lifts her leafy arms to pray”, “bosom snow has lain”, and “A nest of robins in her hair.”
3. Conclusion

Poem is a literary work that reflected human life written in verse. Three Ravens and Trees has different each other in structural elements, content and the use of symbol. Three Ravens use anthromopic animal to draw human life, than Trees use anthromopic imagery. But, both poems have similarity. Both poems show the God’s great in creating this earth and make all of the beautiful things in this world. It is shown in two last lines in the poems.

Written by Khusnul Khotimah

SO LONG AND GOODNIGHT

Tiba-tiba tanganku bergetar, merinding. Aku melihat sekeliling. Aku mencoba menenangkan diridengan cara menggoyang-goyangkan tubuhku ke depan belakang. Tetapi aku tidak bisa tenang. Aku kacau. Suara benda pecah, suara teriakan, suara pukulan. Aku semakin cepat menggoyang-goyangkan tubuhku. Kutututp telingaku agar tak bisa dengar pertikaian mereka. Mereka bertengkar terlalu keras, sangat keras. Aku berteriak sendiri dalam kamarku. Aku bersembunyi di lemari. Berharap tidak ada yang menemukanku untuk dijadikan sasaran. Disana aku sampai tertidur.
Keesokannya. Kurasa sudah pagi. Semua tenang. Terdengar suara kicau burung. Kucingku menghampiriku, mengelus-elus pada kakiku. Kuangkat dia ke tanganku. Aku membuka jendela. Ada ranting kering bergerak disamping jendela. Kulihat dari kamarku mobil ayah tak ada. Maka aku keluar dari kamarku. Ibu masih tidur di ranjang. Di wajahnya ada bekas kebiru-biruan. Kemarin pukulan ayah terdengar keras ,pasti ibu sakit. Aku menyiapkan sarapanku sendiri. Sepiring sereal yang tersedia di kulkas. Kuberi kucingku juga. Selesai semuanya aku keluar bersama kucingku. Berjalan-jalan di sepanjang perumahan. Aku pergi ke sebuah rumah tua dan tidak berpenghuni. Satu rumah yang sepi. Orang-orang bilang rumah itu berhantu. Teman-temanku juga tidak ada yang berani kemari. Maka kubuktikan sendiri datang ke rumah itu dan tidak ada apapun yang menakutkan.
Di teras rumah itu ada kursi panjang yang cukup untuk tubuh kecilku tidur disana. Aku masuk ke sebuah ruangan di rumah itu yang terdapat banyak bukutersusun dan berdebu. Ruamg itu bukan perpustakaanrumah namun sebuah kamar. Aku tidur berselimut di ranjang besar sambil jariku menggaruk-garuk bantal. Aku bermimpi. Suatu saat dimana aku tidak pernah mendengar pertengkaran orang tuaku. Suatu tempat dimana aku bisa tidur tenang bersama kucingku. Dan saat itu aku akan bahagia. Aku menyimpan keinginan itu dan membuat harapan. Tetapi terjadi kembali malam yang membuatku resah dan gelisah. Hingga aku ingiun menggoyang-goyangkan kepalaku yang sakit. Banyak barang yang dilempar. Suaranya nyaring. Ibu berteriak-teriak ketakutan. Suara pukulan ayah, suara makian ayah. Aku ikut memaki persis yang diucapkan ayah. 

“ Bajingan ! “
“ Bajingan ! “
“ Bangsat ! “
“ Bangsat ! “
“ Kau pelacur ! “
“ Kau pelacur ! “
“ Perempuan jalang, perempuan hina ! “
“ Perempuan jalang, perempuan hina ! “
Seraya aku memukul-mukul pintu lemari. Kucingku mengeong-ngeong bertingkah tak karuan. Bulu-bulunya berdiri. Lalu suara tangis, lemparan barang-barang, saling caci, saling tampar. Dan kupikir pada malam hari semua orang sudah gila. Aku pergi ke kolong ranjang. Bersembunyi dari orang gila.
Esoknya, ketika semua terasa sepi, sunyi dan sedih. Aku pergi ke rumah yang disebut orang-orang sekitar rumah hantu. Di sebuah ruang dimana aku mendapatkan kedamaian bersama kucing malangku yang belum sempat kuberi makan karena tidak ada makanan di kulkas. Disini aku dapat tidur setenang mungkin bagai di surga. Selimut ini bagai telah membelaiku layaknya tangan ibu. Kicau burung dan suara angin seperti dongeng sebelum tidur yang diceritakan oleh ayah untukku. Maka aku menyimpan keinginan tinggal di suatu tempat yang tenang dan asing bagi siapapun tapi tidak bagi aku dan kucingku. Sebab tempat itu aku yang menemukannya dan rahasia bagi orang lain bahkan bagi ayah dan ibuku. Maka aku berharap untuk menjadikannya kenyataan. Aku berdoa sepenuh hatiku takkan ada orang gila di tempatku itu. Indah. Ada sungai, ada taman bunga, ada pohon-pohon besar dan burung-burung bertengger, membuat sarang bagi anak mereka di ketiak pohon.
Aku melihat ibu di kamar. Dia ditindih oleh laki-laki tanpa busana begitu juga ibu dan laki-laki itu tidak kukenal. Aku melihat ayah tersenyum di depan seorang wanita dan memberinya cincin. Wanita itu tersenyum lebar. Aku tahu itu bukan ibu.

Senja menjelang. Kerling di gemercik air. Masih terdengar kicau burung, angsa di sungai bersama pasangannya. Katak terjun. Suara plung ! Bergema. Ranting kering, burung menapak. Senja bulan desember. Sepuluh tahun berlalu. Di sebuah rumah yang terpencil dan jauh dari keramaian. Dimana atapnya sudah banyk yang berlubang. Dinding kayu yang sudah keropos. Ayunan di pohon akasia yang patah. Namun sungainya tetap mengalir dan halamannya masih ditumbuhi tanamna liar yang makin banyak. Para pekerja kontraktor itu datang. Mereka akan menghancurkan rumah itu. Seseorang masuk dan berteriak.
“ Hei kalian ! Lihatlah ke dalam sini ! “ Teman-temannya masuk ke dalam. Yang berteriak tadi menarik selimut di ranjang itu.
“ Tulang siapa itu ? “ tanya sang mandor terkejut melihat susunan tulang manusia tergeletak di ranjang. “ Sepertinya tulang anak kecil. “ ucap yang lain. Sejenak semua terdiam mengitari tulang-tulang itu. Kemudian sang mandor membangunikan mereka dari lamunan.
“ Hei ! Jangan bengong aja. Cepat angkat tulang-tulang itu dan segera hancurkan rumah ini. “ lalu keluar dan diikuti oleh lainnya sambil membawa tulang-tulang itu keluar.



Written by: Khusnul Khotimah

Hello….

Kendaraan berlalu lalang di depanku. Orang-orang ramai berjalan kesana kemari. Senja, angin, titik hujan. Menyatu.
“ Why do you love me......so sweet and tenderly.........”
Beberapa pengamen menyanyi di pinggir jalan raya di depan toko bunga. Mereka berteduh. Seorang pria setengah baya lewat menjatuhkan koin di kaleng di depan mereka lalu perempuan cantik memakai jas hujan. Tetapi laki-laki tampan itu Cuma memandang kecut lantas berlalu. Di tempat lain, di rumah. Air hujan berjatuhandi atas genteng meluncur jatuh bagai air terjun. Seekor kucing naik ke teras. Menggerakkan tubuhnya untuk mengeringkan dirinya. Di dalam terdengar suara,
“ Sara, kamu melihat lipstiksku ? “
“ Tidak ibu. Ibu mau kemana ? “tanya sara bersandar pada pintu menuju ruang tengah.
“ Aku mau pergi. “
“ Kemana ? “
“ Kamu ini banyak tanya. Temanku segera menjemputku. Hayo, cepat! Bantu aku cari lipstikku.”
“ Ini hujan,bu. “
“ Cerewet banget ! Kamu bisa bantu tidak ! “teriak ibu.
Sara malah menuju ke kamar mandi.

Di tempat semula tadi. Di sudut jejeran toko, seseorang memakai jas hujan berkelamin laki-laki memakai topi putih yang sedang memainkan harmonika. Cradle song. Aku mengenal lagu itu . Sambil berjalan pulang aku menyanyikannya dalam hati. Berjalan dengan jas hujan berwarna putih transparan. Hujan tampak deras sekalirupanya bahkan sampai terdengar petir menyambar. Langit kelabu , segaris cahaya nampak segera hilang, angin dan suara petir. Aku sampai di halaman rumahku dan di depan ada mobil menunggu. Aku melihat seorang laki-laki muda di dalamnya. Dia tersenyum melihatku lalu kuanggukan kepalaku kepadanya.
Tiba –tiba di teras, ibu keluar dengan dandanan yang cantik. Memang ibu masih muda. Umur ibu dan umur ayah jauh berbeda. Ibu masuk ke mobil dan laki-laki muda itu menganggukkan kepalanya lagi kepadaku seraya tersenyum. Aku membalas anggukkan dan senyumnya. Namun , ibu tidak berkata apapun ,apalagi melihatku. Sepeninggal mereka aku masuk ke dalam dan sebelumnya ku lepas jas hujanku. Kugeletakkan begitu saja di lantai depan. Aku masuk dan melihat ayah sedang tidur lelap di kamarnya.
“ Ayah. “ kupanggil dia.“ Sudah hampir maghrib. Bangun ayah. “
“ Oh ya.” Ayah sedikit membuka matanya dan melihatku. "Terima kasih,nak “
Aku berlalu di depan pintu kamarnya.

Hari berbeda. Terik matahari, angin kering, debu. Di dalam rumah.
“ Tiga hari lalu ibumu pamit kemana sara ? “tanya ayah.
Datang issa, adikku. Menuntun sepeda motor keluar.
“ Kau mau kemana, issa. ‘tanya ayah pelan.
“ Toh bukan urusan ayah. Ngapain ayah tanya segala.” Jawabnya judes. Sara keluar dari dapur karena dia sudah selesai pekerjaan mencuci pirinnya sedangkan aku tetap disitu.
“ Sebagai ayah aku berhak bertanya.” Issa diam saja dia siap menggenjot motornya.
“ Kenapa kamu selalu pergi dari rumah lama ? Dalam seminggu aku hanya melihatmu sekali, issa. “ Issa akhirnya menggenjot motornya dan turun dari teras rumah. Suara sepeda motornya lama kelamaan mengecil selanjutnya hilang. Kedengaran suara sepeda motor lain dan diikuti sepeda motor yang lain lagi yang pastinya bukan milik issa.
“ Tahukah kau dimana ibumu ? “
“ Tidak. “ jawabku. Aku menyerahkan segelas teh madu untuk ayahku.
“ Akhir-akhir ini mainnya keluar semakin menjadi. Aku selalu berharap dan berdoa semoga ibumu berubah. Bagaimanapun juga dia punya kewajiban di rumah ini. Terima kasih, emira. “
Aku hanya tersenyum menerima ucapan terima kasihnya. Aku selalu merasa kasihan pada ayah yang telah beranjak tua dan ditinggalkan ibu yang masih muda. Seharusnya ibu tidak memperlakukan ayah seperti itu. Meskipun, ibu tidak sungguh mencintainya. Setidaknya, aku ingin melihat ibu menghormati ayah.

Di tempat lain. Seorang cleaning service mengetuk pintu hotel. Agak lama dia berdiri di depan pintu. Kemudian kembali ia mengetuk-ngetuk pintu.
“Apa!” tiba-tiba seorang laki-laki membuka pintu dengan keras.
Cleaning service itu gugup. Ia tersenyum aneh dan bilang. “Cleaning service.”
“Enyah kau dari sini!” dan ditutuplah pintu kamar hotel tersebut. Sang cleaning service tertunduk dan beranjak dari situ. Ia berjalan lewat tangga darurat. Mulanya jalannya cepat. Berikutnya agak lambat dan lalu jadi lambat dan berhenti. Ia terpaku. Ia dengar sesuatu. Tahukah kau yang ia dengar adalah suara desahan seorang wanita, bukan desahan karena menderita. Sang cleaning service itu terkejut tak percaya. Ia berlari menuju ke atas kembali dan mencari-cari kamar mandi. Seketika ia muntah-muntah di atas wastafel.
“Gila!”
“Seess...” bunyi kran.
“Oh, Ibu, ibu...” ucap issa disertai tangisnya.

Beberapa hari dari kemarin. Bunga aster berkembang. Pohon bambu cina bergerak teratur. Angin tak seberapa kencang. Sebagian bunga santan melayu. Aku memandang kolam. Aku memakai celana mambo dan berkaos hitam. Duduk dengan gaya laki-laki. Wanna datang membawa kue. Katanya kue buatannya. Dia duduk di sampingku. Tanpa kuduga ia mencium pipiku. Aku melihatnya, ia tersenyum. Senyumnya manis bagiku. Kucium bibirnya.
“ Tidakkah kau menyia-nyiakan waktu belajarmu pagi ini? Harusnya kau di sekolah.” Kakinya ia angkat semua ke sofa. Tubuhnya menghadap aku.
“Aku rela menyia-nyiakan waktu bersamamu.”
Ku pegang dagunya. “Benarkah kau mencintaiku.” Tanyaku.
Dia mencium tanganku sebelum berbicara.
“Aku mencintaimu.” Ia membelai rambut pendekku. Jantungku berdetak tidak seperti biasanya. Kupeluk dia dari belakang dengan erat. Kucium bibirnya dan lehernya. Barangkali air mataku menetes dikulitnya.
“Apa kau menangis?” tanyanya. Ia ingin melihat aku namun kucegah. Kubiarkan dia tetap memandang depan serta aku memeluknya dari belakang. Sesungguhnya aku tak kuat menanggung beban ini. Sesungguhnya aku takut mencintaimu. Tetapi, kau begitu dekat dan nyata. Bagaimana dapat kau kubiarkan? Sebenarnya aku tak pantas mencintaimu begitu pula kau. Tak pantas! Maaf, aku berpura-pura menjadi laki-laki, sebab aku ingin memelukmu seperti ini. Itulah kalimat yang ingin aku utarakan, namun tak bisa kukatakan sejujurnya.
“Anang, kau menangis? Kenapa? Katakan padaku.” Dia menciumi tanganku. Ia mencoba melepaskan diri dan melihat mataku lalu aku mencium bibirnya secara dalam. Kuucapkan........
“Selamat tinggal.”
“Anang kau mau pergi kemana?” Wanna berusaha mengejar aku. Aku segera naik taxi sebelum sempat ia sampai di pintu pagar. Masih sambil menangis dalam perjalanan.

Sepanjang perjalanan pagi itu. Di tempat lain, hari yang sama. Sebuah gedung sekolah. Di luar kamar mandi wanita banyak siswa-siswi maupun guru berlalu-lalang di situ. Di lapangan seorang pemuda sedang bermain basket dengan teman-temannya dan ia berhasil memasukkan bola. Teman-temannya memberi tepuk tangan. Para cheerleaders itu berteriak kegirangan. Di dalam kamar mandi wanita, seorang anak bernama Sara berdiri disalah satu toilet. Ia memeriksa alat yang baru saja dibelinya. Sebuah alat yang panjang yang nantinya akan memberi tanda yang menyatakan positif hamil.
“Bangsat!”
Cemoohnya seraya melempar tanda itu. Benda itu keluar ruang toilet. Segera ia ambil dan menyembunyikannya di saku. Setelah itu ia menuju kran di depan kaca untuk mencuci mukanya. Dua orang teman datang.
“Hei, sara kau kelihatan pucat. Apa kau sakit?” tanya temannya merasa agak aneh dengan sikap sara.
Sara mendadak gugup, tapi segera ia mengatur pikirannya.
“Iya nih. Barangkali karena semalam aku tidak bisa tidur karena anjing tetanggaku terus ...guk,guk.” Sara meniru suara anjing. Kedua temannya terbahak-bahak. Kemudian mereka bertiga keluar kamar mandi wanita itu. Sara sempat melihat pemuda yang habis memasukkan bola kekeranjang. Seolah habis mendapat kemenangan.

Hari yang lain, sebuah malam Ada suara jangkrik dan katak. Suara gemericik air, gerak daun dan ranting. Suara gelak tawa anak-anak, suara percakapan orangtua. Langit hitam yang dihiasi kerlap-kerlip bintang dan bulan pun bersinar terang. Aku baru memasuki halaman depan rumahku. Kulihat Issa menaiki motornya dan pergi. Sedangkan di dalam, kulihat dua orang di dalam kamarku yakni Sara dan pacarnya, Yuda. Sepertinya mereka bertengkar. Entah mempermasalahkan apa sampai Sara bermata merah. Aku melirik pada bilik ayahku. Dia tidak ada, juga di mushola ia tidak ada. Sejak diberi tugas sebagai takmir masjid, Ayah jarang di rumah. Ia lebih senang merawat masjid itu. Aku masuk kamar mandi. Melepas pakaianku satu persatu dan masuk dalam bak mandi yang berisi air hangat yang sebelumnya sudah kusiapkan untuk berendam.
“ Pryaaang ! “ 
Suara benda pecah. Aku ikut terkejut. Aku mendengar teriakan Sara dan suara Yuda yang seakan memohon. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Namun, sudah banyak orang yang jarang tinggal di rumah ini.


Written by: Khusnul Khotimah

GLORY

Akhirnya…… Setelah sekian lamanya Hujan turun, aroma tanah, gugur daun Di angkasa dibarengi nyanyi hujan. Anak-anak berlari tawa ria masuk rumah ke peluk bunda. Aku mencintaimu Bunda. Dari titik-titik hujan itu………. berjatuhan ke rerumputan dan buah-buah. Bagai masa lalu turun ke bumi dan tersenyum mesra menyambut, disanalah ketemukan, bersama syukur……. Terima kasih Tuhan. October 26, 2009 Written by: Khusnul Khotimah

KENANGAN

Ketika itu aku berumur 11 tahun. Hidup di desa yang tenteram. Sebuah rumah di ujung desa. Disamping kanan rumahku, swah membentang hijau begitu juga di depan rumahku, jalan kerikil dan sawah membentang. Rumah berdinding tembok dan bagian belakang masih berdinding bambuyang cahaya diluar mengintip di sela-sela lubang kecil diantara anyaman bamboo. Rumahku berhalaman luas dan banyak pepohonan tumbuh. Sesungguhnya aku ingin sebuah kolam ikan di rumahku, tetapi hingga sekarang ayah belum membuatkannya. Ayahku seringkali meninggalkan kami di rumah sendirian. Ayahku bekerja di kota sehingga dini hari harus berangkat dan pulang senja hari. Ayahku adalah seorang kuli. Dia mengangkut karung-karung beras dari truk. Pada suatu hari, saat malam hari, aku baru setengah tidur. Kudengar ayah pulang dan ibu berbicara lirih sekali. Tiba-tiba ayah berteriak memaki-maki Ibu, mengeluarkan kata-kat yang kotor yang semestinya tidak boleh diucapkan. Ayah selalu menasehatiku untuk tidak berkata-kata kotor dihadapan orang tapi mengapa ayah sendiri yang berkata jorok di hadapan Ibu bahkan amat keras. Bukankah seorang Ibu harus patut dihormati. Demikian nasehat ayah dulu. Aku melihat dari pintu kamarku yang kubuka sedikit agar ayah dan Ibu tidak menyadariku. Ayah menampar Ibu sampai Ibu jatuh tersungkur dan Ayah Cuma berdiri saja. Yang bergerak hanya bibirnya yang sedang mengumpat pada Ibu. Ibu menangisIa bersujud di kaki ayah, namun ayah malah menendangnya. Ayah pun pergi sedangkan Ibu mengais di ambang pintu. Aku bergegas kembali berbaring. Saat Ibu masuk ke kamarku, air matanya ia usap dengan bajunya yang kumal. Ia duduk disampingku dan membenakan selimutku yang turun. Keesokannya pagi menyambut. Aku menikmati pemandangan butir-butir embun melekat pada daun padi. Ibu tak berbicara apapun. Ia menyiapkan makan pagi untukku dan menyiapkan bekal sekolahku. Setiap hari rabu, aku mengikuti les di rumah Pak Harjo, pengajar Bahasa Inggris di sekolahku. Aku pulang sampai jam 16.00 jadi setiap hari rabu Ibu membawakanku bekal makan siang. Kejadian kemarin malam kucoba pahami dan perginya ayah tidak pula kutanyakan pada Ibu. Yang paling ku kutuk adalah orang-orang di desaku.mereka selalu mencampuri urusan orang lain. Terkadang aku malas menjawab sewaktu mereka bertanya kemana ayahku pergi, apa yang terjadi atara ayah dan ibumu dan orang yang paling ku kutuk adalah Mak Juni, janda 5 tahun itu. Ia amat cerewet. Bahkan, ia juga suka menggosip, suka mengumbar-umbar perkara orang lain. “Apa ayahmu selingkuh?” Suatu ketika dia bertanya padaku. Mengapa dia bertanya hal yang tidak aku ketahui. Dan ia bertanya dengan kalimat itu di hadapan orang banyak. Tentulah mereka akan bertanya-tanya. “Entahlah.” Kujawab seadanya. Saat ia mau berta nya lagi aku buru-buru meninggalkan tempat itu. Esok malamnya Ayah pulang dengan langkah gontai. Mulutnya bau tidak sedap. Ia mendobrak pintu kamar dan mencari sesuatu. Ibu membuntutinya dan lantas memarahi Ayah. Kudengar suara sebuah tamparan dari bilik Ibu. Aku bergegas melirik ke biliknya. Ayah keluar membawa perhiasan Ibu. Ibu menahannya. Seketika dicambuknya punggung ibu dengan ikat pinggang yang dilepas oleh Ayah dari celananya. Ayah mengacungkan tangan kanannya bakal memecut aku. Kupejamkan mata ternyata Ibu memelukku. Ia melindungiku dari pecutan Ayah. Ibu merintih kesakitan. “Aku mohon, aku mohon. Aku mohon, Ayah. Jangan.” Hanya itu yang bisa kusuarakan. Aku Cuma berkali-kali berkata demikian tetap ayah memecut Ibu. Setelah itu Ayah keluar seraya membawa perhiasan Ibu yang diwariskan oleh nenek. “Mau dibawa kemana milikku.” Seru Ibu masih dalam isakan tangis. “akan kugunakan buat kawin. Aku sudah muak melihat rupamu dan tubuhmu.” Ayah kemudian hilang dalam kegelapan malam. Ibu tetap memelukku erat. Aku sama seperti Ibu, megeluarkan air mata yang asin kurasakan di lidah. Itu tangisan terakhirku untuk Ayah yang ku kutuk and kelahirannya. Bertemu dengan Ibuku dan mengawininya lantas pergi kawin dengan perempuan lain. Sesungguhnya, aku masih mengharapkan janji Ayah yang akan membuatkanku kolam ikan. Ikan wader yang kutangkap di kali dekat rumah Marto, temanku, yang membantuku menagkap ikan wader ini dan kemudian ku masukkan di toples berisi air. Kuberi dia makan biar tidak kelaparan. Pandangan orang di desaku berubah terhadap kami sejak Ayah meninggalkan kami. Semua orang memandang kami dengan mata penuh iba. Hanya itu yang dapat mereka lakukan. Setiap hari ku coba untuk Nampak bahagia agar aku tak dapat merasakan perasaan mereka. Yang kulakukan adalah mengerjakan apa yang kusuka. Ini kuharap dapat membantuku menghilangkan nama Ayah dalam benakku. Pada hari ulang tahunku yang kedua belas. Ibu berjanji akan membuatkan baju baru untukku. Kudengar Ibu semalaman menjahit baju buatku yang dijanjikan oleh Ibu. Aku tidur dengan hati gembira dan bermimpi memakai baju baru . Paginya kulihat batuk-batuk Ibu tambah parah. Sudah semenjak dua bulan terakhir Ibu terus-terusan batuk dan berkeluh kalau kepalanya pusing. Tapi kemudian, dia berkata padaku bahwa ia baik-baik saja. Aku pun berangkat sekolah dengan bekal siangku. Di sekolah aku tetap seperti biasanya. Diam, namun dihatiku berbicara banyak mengenai baju baruku. Sorenya kau telah pulang dengan bekal yang kosong. Berjalan melalui jalan berkerikil dan sebagian becek disebabkan hujan semalam. Hingga di depan rumahku, aku merasa ragu karena banyak orang kampung di halamanku. Seseorang menuntunku ke dalam dan menundudukkanku di sisi ranjang Ibuku. Wajah Ibu pucat. Matanya tertutup. Aku lalu mengucap memanggillanya. “Ibu.” “Ibumu telah tiada.” Seorang perempuan mebisikkan suara di telingaku. Kupandang dia dan berganti memandang wajah Ibuku yang tubuhnya terbujur kaku. Menyedihkan, bisikku dalam hati. Pagi hari jam delapan, aku bersiap-siap pergi meninggalkan rumahku yang kudiami selam 12 tahun 2 hari. Pagi yang cerah, pagi yang mengharukan. Kuamati halaman samping dibawah pohon sawo. Disinilah Ayah akan membuatkanku kolam ikan untuk waderku. Kuletakkkan waderku yang di dalam toples di tengah-tengah. Aku memakai baju baru yang Ibu buatkan. Bercorak ungu dengan kembang-kembang kuningnya. Ibu telah menepati janjinya. “Sani!” teriak pamanku. Mulai saat ini, aku akan tinggal di rumah pamanku di Bandung. Ia yang akan mengurusi seluruh kebutuhanku sebagai pengganti orang tuaku. “Aku segera, Paman.” jawabku. Kuambil ikan waderku, kulepaskan di kali kecil di pinggir sawah disamping rumahku. Ayah takkan pernah menepati janjinya, batinku mengutuk. Rumah yang setengah berdinding tembok it uterus kuamati hingga mobil pamanku berbelok hingga aku tak melihat antenna rumahku. Pagi yang menyedihkan. 

Written by: Khusnul Khotimah

Catatan singkat

Matahari berada tepat diatas kepala. Semua berkeringat. Enggan keluar. Ingin berada dalam rumah saja sambil menikmati es krim. Andaikan semua hal dapat berjalan begitu mudahnya, maka semua orang tidak akan ada yang bekerja keras, rajin belajar ataupun menangis tersedu-sedu memohon sesuatu. Semua ada pada jalannya. Aku susuri jalan beraspal dimana pepohonan lebih banyak menggugurkan daunnya daripada melahirkan pucuk daun hijau untuk memberi bayangan teduh pada jalan. Aku terpaku saja di bawah pohon mahoni. Menatap jalan di depanku, jalan yang seolah tak berujung di ujung mataku, yang semakin lama semakin mengecil. Aku berkata,
“Aku ingin pulang,”
Tidak ada hal yang lain kupikirkan atau mungkin malah tidak ada. Aku tidak ingin memikirkan apapun. Hanya akan menambah runyam hatiku. Hatiku yang kecil dan sering mengalami kekalahan ini menjadi tidak berdaya, melumpuhkan setiap detik nadi dan melemaskan raga. Jiwaku, entah kemana gerangan ia ingin pergi. Dia ingin terbang bebas seperti kupu-kupu hinggap seenaknya di tiap kelopak bunga dan lalu meninggalkan begitu saja atau seperti terbang para burung ke angkasa, menari-nari dan menyanyi tiada henti sampai akhirnya seorang pemburu menembaknya dan tiada guna lagi bagi dia. Hanya bangkai tergeletak di atas tanah dengan berlinangan darah.
“Aku lelah,”
Kataku kemudian. Aku ingin sejenak merebahkan diri. Barang beberapa menit. Tetapi aku yakin tidak akan ada orang yang mengijinkannya. Semua harus terus bergerak, harus tetap bicara, harus tetap berpikir, harus tetap mencintai, harus tetap bersabar………
Karena hidup penuh kasih sayang,
“Kamu tidak akan mendapat apapun jika kamu tetap diam, bahkan bumi tidak akan sudi melirikmu untuk memberi pengampunan.”
Katakanlah padaku sesuatu, tidak perlu harus romantis, tidak perlu membuat tertawa terbahak-bahak, tidak perlu membuat gelisah bukan kepalang, tidak perlu membuat menangis menggeru-geru sampai pecah bola kaca. Cukup katakan kepada hatiku,
“Ya, aku mencintaimu, sayangku.”
Maka tidak perlu kita bertengkar. Mari kita sama-sama merebahkan diri diatas kasur rindu berselimutkan kasih.
Andai engkau tahu,
“Aku juga mencintaimu.”



Sunday, October 31, 2010 At the middle of day.
Written by Khusnul Khotimah

CEMAS

November, 3, 2009 



Hilang focus,
cemas,
bermandi keringat.
Tuhanku sayang, tenangkanlah jiwaku………