Sabtu, 30 April 2011

Hello….

Kendaraan berlalu lalang di depanku. Orang-orang ramai berjalan kesana kemari. Senja, angin, titik hujan. Menyatu.
“ Why do you love me......so sweet and tenderly.........”
Beberapa pengamen menyanyi di pinggir jalan raya di depan toko bunga. Mereka berteduh. Seorang pria setengah baya lewat menjatuhkan koin di kaleng di depan mereka lalu perempuan cantik memakai jas hujan. Tetapi laki-laki tampan itu Cuma memandang kecut lantas berlalu. Di tempat lain, di rumah. Air hujan berjatuhandi atas genteng meluncur jatuh bagai air terjun. Seekor kucing naik ke teras. Menggerakkan tubuhnya untuk mengeringkan dirinya. Di dalam terdengar suara,
“ Sara, kamu melihat lipstiksku ? “
“ Tidak ibu. Ibu mau kemana ? “tanya sara bersandar pada pintu menuju ruang tengah.
“ Aku mau pergi. “
“ Kemana ? “
“ Kamu ini banyak tanya. Temanku segera menjemputku. Hayo, cepat! Bantu aku cari lipstikku.”
“ Ini hujan,bu. “
“ Cerewet banget ! Kamu bisa bantu tidak ! “teriak ibu.
Sara malah menuju ke kamar mandi.

Di tempat semula tadi. Di sudut jejeran toko, seseorang memakai jas hujan berkelamin laki-laki memakai topi putih yang sedang memainkan harmonika. Cradle song. Aku mengenal lagu itu . Sambil berjalan pulang aku menyanyikannya dalam hati. Berjalan dengan jas hujan berwarna putih transparan. Hujan tampak deras sekalirupanya bahkan sampai terdengar petir menyambar. Langit kelabu , segaris cahaya nampak segera hilang, angin dan suara petir. Aku sampai di halaman rumahku dan di depan ada mobil menunggu. Aku melihat seorang laki-laki muda di dalamnya. Dia tersenyum melihatku lalu kuanggukan kepalaku kepadanya.
Tiba –tiba di teras, ibu keluar dengan dandanan yang cantik. Memang ibu masih muda. Umur ibu dan umur ayah jauh berbeda. Ibu masuk ke mobil dan laki-laki muda itu menganggukkan kepalanya lagi kepadaku seraya tersenyum. Aku membalas anggukkan dan senyumnya. Namun , ibu tidak berkata apapun ,apalagi melihatku. Sepeninggal mereka aku masuk ke dalam dan sebelumnya ku lepas jas hujanku. Kugeletakkan begitu saja di lantai depan. Aku masuk dan melihat ayah sedang tidur lelap di kamarnya.
“ Ayah. “ kupanggil dia.“ Sudah hampir maghrib. Bangun ayah. “
“ Oh ya.” Ayah sedikit membuka matanya dan melihatku. "Terima kasih,nak “
Aku berlalu di depan pintu kamarnya.

Hari berbeda. Terik matahari, angin kering, debu. Di dalam rumah.
“ Tiga hari lalu ibumu pamit kemana sara ? “tanya ayah.
Datang issa, adikku. Menuntun sepeda motor keluar.
“ Kau mau kemana, issa. ‘tanya ayah pelan.
“ Toh bukan urusan ayah. Ngapain ayah tanya segala.” Jawabnya judes. Sara keluar dari dapur karena dia sudah selesai pekerjaan mencuci pirinnya sedangkan aku tetap disitu.
“ Sebagai ayah aku berhak bertanya.” Issa diam saja dia siap menggenjot motornya.
“ Kenapa kamu selalu pergi dari rumah lama ? Dalam seminggu aku hanya melihatmu sekali, issa. “ Issa akhirnya menggenjot motornya dan turun dari teras rumah. Suara sepeda motornya lama kelamaan mengecil selanjutnya hilang. Kedengaran suara sepeda motor lain dan diikuti sepeda motor yang lain lagi yang pastinya bukan milik issa.
“ Tahukah kau dimana ibumu ? “
“ Tidak. “ jawabku. Aku menyerahkan segelas teh madu untuk ayahku.
“ Akhir-akhir ini mainnya keluar semakin menjadi. Aku selalu berharap dan berdoa semoga ibumu berubah. Bagaimanapun juga dia punya kewajiban di rumah ini. Terima kasih, emira. “
Aku hanya tersenyum menerima ucapan terima kasihnya. Aku selalu merasa kasihan pada ayah yang telah beranjak tua dan ditinggalkan ibu yang masih muda. Seharusnya ibu tidak memperlakukan ayah seperti itu. Meskipun, ibu tidak sungguh mencintainya. Setidaknya, aku ingin melihat ibu menghormati ayah.

Di tempat lain. Seorang cleaning service mengetuk pintu hotel. Agak lama dia berdiri di depan pintu. Kemudian kembali ia mengetuk-ngetuk pintu.
“Apa!” tiba-tiba seorang laki-laki membuka pintu dengan keras.
Cleaning service itu gugup. Ia tersenyum aneh dan bilang. “Cleaning service.”
“Enyah kau dari sini!” dan ditutuplah pintu kamar hotel tersebut. Sang cleaning service tertunduk dan beranjak dari situ. Ia berjalan lewat tangga darurat. Mulanya jalannya cepat. Berikutnya agak lambat dan lalu jadi lambat dan berhenti. Ia terpaku. Ia dengar sesuatu. Tahukah kau yang ia dengar adalah suara desahan seorang wanita, bukan desahan karena menderita. Sang cleaning service itu terkejut tak percaya. Ia berlari menuju ke atas kembali dan mencari-cari kamar mandi. Seketika ia muntah-muntah di atas wastafel.
“Gila!”
“Seess...” bunyi kran.
“Oh, Ibu, ibu...” ucap issa disertai tangisnya.

Beberapa hari dari kemarin. Bunga aster berkembang. Pohon bambu cina bergerak teratur. Angin tak seberapa kencang. Sebagian bunga santan melayu. Aku memandang kolam. Aku memakai celana mambo dan berkaos hitam. Duduk dengan gaya laki-laki. Wanna datang membawa kue. Katanya kue buatannya. Dia duduk di sampingku. Tanpa kuduga ia mencium pipiku. Aku melihatnya, ia tersenyum. Senyumnya manis bagiku. Kucium bibirnya.
“ Tidakkah kau menyia-nyiakan waktu belajarmu pagi ini? Harusnya kau di sekolah.” Kakinya ia angkat semua ke sofa. Tubuhnya menghadap aku.
“Aku rela menyia-nyiakan waktu bersamamu.”
Ku pegang dagunya. “Benarkah kau mencintaiku.” Tanyaku.
Dia mencium tanganku sebelum berbicara.
“Aku mencintaimu.” Ia membelai rambut pendekku. Jantungku berdetak tidak seperti biasanya. Kupeluk dia dari belakang dengan erat. Kucium bibirnya dan lehernya. Barangkali air mataku menetes dikulitnya.
“Apa kau menangis?” tanyanya. Ia ingin melihat aku namun kucegah. Kubiarkan dia tetap memandang depan serta aku memeluknya dari belakang. Sesungguhnya aku tak kuat menanggung beban ini. Sesungguhnya aku takut mencintaimu. Tetapi, kau begitu dekat dan nyata. Bagaimana dapat kau kubiarkan? Sebenarnya aku tak pantas mencintaimu begitu pula kau. Tak pantas! Maaf, aku berpura-pura menjadi laki-laki, sebab aku ingin memelukmu seperti ini. Itulah kalimat yang ingin aku utarakan, namun tak bisa kukatakan sejujurnya.
“Anang, kau menangis? Kenapa? Katakan padaku.” Dia menciumi tanganku. Ia mencoba melepaskan diri dan melihat mataku lalu aku mencium bibirnya secara dalam. Kuucapkan........
“Selamat tinggal.”
“Anang kau mau pergi kemana?” Wanna berusaha mengejar aku. Aku segera naik taxi sebelum sempat ia sampai di pintu pagar. Masih sambil menangis dalam perjalanan.

Sepanjang perjalanan pagi itu. Di tempat lain, hari yang sama. Sebuah gedung sekolah. Di luar kamar mandi wanita banyak siswa-siswi maupun guru berlalu-lalang di situ. Di lapangan seorang pemuda sedang bermain basket dengan teman-temannya dan ia berhasil memasukkan bola. Teman-temannya memberi tepuk tangan. Para cheerleaders itu berteriak kegirangan. Di dalam kamar mandi wanita, seorang anak bernama Sara berdiri disalah satu toilet. Ia memeriksa alat yang baru saja dibelinya. Sebuah alat yang panjang yang nantinya akan memberi tanda yang menyatakan positif hamil.
“Bangsat!”
Cemoohnya seraya melempar tanda itu. Benda itu keluar ruang toilet. Segera ia ambil dan menyembunyikannya di saku. Setelah itu ia menuju kran di depan kaca untuk mencuci mukanya. Dua orang teman datang.
“Hei, sara kau kelihatan pucat. Apa kau sakit?” tanya temannya merasa agak aneh dengan sikap sara.
Sara mendadak gugup, tapi segera ia mengatur pikirannya.
“Iya nih. Barangkali karena semalam aku tidak bisa tidur karena anjing tetanggaku terus ...guk,guk.” Sara meniru suara anjing. Kedua temannya terbahak-bahak. Kemudian mereka bertiga keluar kamar mandi wanita itu. Sara sempat melihat pemuda yang habis memasukkan bola kekeranjang. Seolah habis mendapat kemenangan.

Hari yang lain, sebuah malam Ada suara jangkrik dan katak. Suara gemericik air, gerak daun dan ranting. Suara gelak tawa anak-anak, suara percakapan orangtua. Langit hitam yang dihiasi kerlap-kerlip bintang dan bulan pun bersinar terang. Aku baru memasuki halaman depan rumahku. Kulihat Issa menaiki motornya dan pergi. Sedangkan di dalam, kulihat dua orang di dalam kamarku yakni Sara dan pacarnya, Yuda. Sepertinya mereka bertengkar. Entah mempermasalahkan apa sampai Sara bermata merah. Aku melirik pada bilik ayahku. Dia tidak ada, juga di mushola ia tidak ada. Sejak diberi tugas sebagai takmir masjid, Ayah jarang di rumah. Ia lebih senang merawat masjid itu. Aku masuk kamar mandi. Melepas pakaianku satu persatu dan masuk dalam bak mandi yang berisi air hangat yang sebelumnya sudah kusiapkan untuk berendam.
“ Pryaaang ! “ 
Suara benda pecah. Aku ikut terkejut. Aku mendengar teriakan Sara dan suara Yuda yang seakan memohon. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Namun, sudah banyak orang yang jarang tinggal di rumah ini.


Written by: Khusnul Khotimah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar